Senin, 10 Januari 2011

lahar dingin merapi




Magelang - Sungguh manusia tidak bisa melawan hukum alam. Selama puluhan tahun, aliran Kali Putih diubah atas nama pembangunan daerah. Namun Merapi punya aturan sendiri. Pasca lahar dingin, Kali Putih kembali ke bentuk aslinya pada 1940.

Bagi warga di sekitar Kali Putih, Magelang, Jawa Tengah, inilah jawaban atas doa mereka selama ini. Menurut mereka, bentuk Kali Putih yang paling aman terhadap bahaya Merapi, adalah Kali Putih pada zaman awal kemerdekaan di tahun 1940.

Dahulu pada tahun 1940-1960, terdapat dua alur sungai yaitu Kali Putih dan Kali Druju yang melintasi Jalan Raya Magelang-Yogyakarta di Km 23 saat itu. Alur itu diperkuat dengan dam buatan kolonial Belanda.

Namun, pada masa Orde Baru, Kali Putih sengaja diubah. Kali Putih dan Kali Druju disatukan alirannya. Rupanya ada kepentingan ekonomi, menyusul berdirinya pasar tradisional Jumoyo. Keberadaan Kali Druju di sisi barat Jalan Raya Magelang yang melintasi Dusun Prebutan, Dusun Gatakan dan Dusun Ngresap di Desa Gulon, Kecamatan Salam seolah-olah dikesampingkan.

Dam Kali Putih pun saat itu langsung disulap pemerintah menjadi sebuah areal persawahan dengan panjang alur sungai 2-3 kilometer. Sawah mendadak itu tiba-tiba menjadi hak milik warga yang tidak jelas keberadaanya dan kedatangannya.

"Masyarakat sebetulnya merasa lebih aman jika Dam Kali Putih dipelihara semasa zaman Belanda. Jika terjadi erupsi Merapi, material seperti lahar dingin dulu tidak sampai meluap seperti sekarang ini. Batu-batu besar yang menggelinding di aliran sungai tidak pernah sampai menghantam dan menerjang rumah," kisah Jratun (76) salah seorang sesepuh Dusun Kemburan, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang, Selasa (11/1/2011).

Kala itu, warga dengan nikmatnya bisa menonton material baik erupsi Merapi maupun banjir lahar dingin dengan indahnya menggelinding di alur Kali Putih. "Saat itu, saya bisa melihat batu-batu besar mengeluarkan asap menggelinding di dalam sungai tanpa rasa kawatir dan was-was. Sekarang saya tidak berani," tegas Jratun.

Jratun menuturkan, pasca erupsi Merapi tahun 1968, inisiatif pemerintah untuk menyatukan Kali Putih dan Kali Druju sempat mendapat protes. Namun, protes tentu tidak diperhatikan oleh pemerintah Orde Baru.

Bangunan bersejarah berupa Dam Kali Putih pun hilang, malah muncul alur sungai baru di sepanjang Jalan Raya Magelang-Yogyakarta Km 23 yang tepat berada di belakang pemukiman dan pertokoan yang berjejer di pinggir jalan besar.

"Akibatnya saat ini, jembatan Kali Putih yang sebenarnya dulu Kali Druju tidak muat jika terjadi erupsi Merapi dan banjir lahar dingin," tegas Jratun yang lahir tahun 1934 itu. 

Bila terjadi erupsi Merapi dan banjir lahar dingin setiap lima tahun sekali, warga pasti merasa was-was dan khawatir jika terjadi luapan material ke jalan Raya Magelang-Yogyakarta. Tokoh agama Dusun Gempol, KH Mahyat, juga menilai bencana lahar dingin adalah peringatan Tuhan agar manusia tidak mengejar kepentingan materi dengan mengabaikan aturan alam.

"Pemerintah harus peka dan melihat sejarah bila memang ingin memindah sungai. Tidak hanya serta merta memindah tanpa melihat ekses dan akibat yang merugikan serta membuat banyak warga sedih serta trauma akibat tertimpa bencana," tegas Mahyat.

Kepala Desa Jumoyo, Sungkono, saat ditemui detikcom di pengungsian di lapangan Jumoyo, mengatakan warga sudah lelah menuntut agar Kali Putih dikembalikan seperti semula. "Pemerintah dan wakil rakyat tidak bergeming. Kalau sudah seperti ini? Ribuan warga tertimpa bencana? Anak-anak, orang tua-orang tua menderita di pengungsian. Apa yang bisa kami lakukan?" kata Sungkono.

Dia berharap bencana ini bisa menjadi pelajaran pemerintah. "Inilah pentingnya mendengarkan aspirasi rakyat kecil. Masyarakat bawah yang merasakan langsung dampak pemindahan alur sungai Kali Putih yang dijadikan satu dengan Kali Druju," tegas Sungkono dengan mata berkaca-kaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar